Inilah Tiga Kunci Kesuksesan

 kita merasa orang lain beruntung, enak, lebih hebat dan sebagainya. Hanya karena kita sedang melihat sosoknya sedang ramai dibahas di media massa, atau karir hidupnya baru saja sampai ke puncak dengan beragam capaian-capaian positif yang mengagumkan.


Namun satu hal yang mungkin sering dilupakan, sekalipun ini bisa dipahami dengan mudah, yakni tentang lika-liku hidup, dinamika perjuangan dan jatuh bangunnya sang sosok sampai pada titik yang membahagiakan tidak benar-benar kita pelajari dengan baik.

Terhadap masalah ini, Allah mengingatkan kita tentang perihal bagaimana para Nabi dan Rasul mengisi kehidupan.

Mereka bukan malaikat dan manusia special dengan sedikit tantangan dan hidup dalam gelimang kenyamanan. Justru sebaliknya, mereka adalah orang yang keimanan dan komitmennya terus diuji dengan beragam tantangan dan kesulitan hidup.

Nabi Yusuf adalah satu contoh nyata kehidupan, bagaimana beliau tidak saja mampu sukses sebagai diri, tetapi juga sebagai saudara dalam keluarga, sukses sebagai pemimpin dan tentu saja sukses mengalahkan tipu daya setan yang ingin merusak hubungan kekeluargaan dengan saudara-saudaranya sendiri. Dan, itulah sukses sejati.

Dari kisah tersebut, jelas bahwa Islam menghendaki umatnya sukses dalam banyak sisi, bukan semata sebagai pribadi, saudara, anak, dan pemimpin keluarga, tetapi juga sukes memenangkan tipu daya setan, sehingga yang dicapai tidak semata capaian materi, namun juga ketentraman hati dan inspirasi kebaikan bagi perjalanan umat manusia dari generasi ke generasi.

Oleh karena itu, patut kita renungkan bahwa dalam Al-Qur’an, hanya penghuni surga yang disebut sebagai orang-orang yang beruntung (sukses).

لَا يَسۡتَوِىٓ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ‌ۚ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَنَّةِ هُمُ ٱلۡفَآٮِٕزُونَ

“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 20).

Oleh karena itu, menjadi apapun dalam hidup ini kita mesti berpegang teguh pada apa yang diteladankan oleh Rasulullah. Yakni berprasangka baik (husnudzon billah), mujahadah dan amanah.

Pertama, berprasangka baik

Ada seorang sahabat, yang sejak SMA hobinya dengan dunia komputer alias Iformasi dan Teknologi (IT). Tetapi, apa daya, setelah berusaha kesana kemari, upayanya nihil. Akhirnya ia pun mendapat informasi beasiswa kuliah di negara tetangga dan diterima. Tetapi, masalah tidak berhenti, sebab di negeri tetangga ia mesti mengambil jurusan yang tak pernah terbayangkan, yakni psikologi.

Tetapi, beruntung, sahabat tadi berusaha membesarkan jiwanya dengan berprasangka baik kepada Allah. Kini, setelah melanjutkan studi masternya di Amerika, ia kembali ke Indonesia yang menjadikannya bisa memberikan maslahat bagi umat.

Dan, bagaimana mungkin kita tidak mau berprasangka baik kepada-Nya, sedangkan segala sesuatu diciptakan dengan hikmah (tidak sia-sia).

وَمَا خَلَقۡنَا ٱلسَّمَآءَ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَہُمَا بَـٰطِلاً۬‌ۚ ذَٲلِكَ ظَنُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ‌ۚ فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنَ ٱلنَّارِ

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (hanya sia-sia saja). Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka…” (QS: Ash-Shood: 27).

Jadi, berprasangka baiklah kepada Allah. Apalagi, Allah Ta’ala akan memposisikan hamba sesuai dengan prasangkanya kepada-Nya.

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى

 “Aku sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku.” (Muttafaqun ‘alaih).

Kedua, mujahadah

“Tahukah kalian, siapa yang disebut Mukmin? Pertanyaan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ini dijawab sendiri: “Yang disebut  Mukmin adalah orang yang membuat harta dan jiwa orang lain aman.

Sedangkan Muslim adalah orang yang membuat orang lain selamat dari perkataan dan perbuatannya.

Orang yang bermujahadah adalah orang yang senantiasa berjuang dalam ketaatan kepada Allah. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan dan dosa. (HR. Bukhari).

Zaman sekarang, umumnya orang memang berpikir instan, bagaimana tanpa proses panjang dan berlelah-lelah, hasil sudah bisa digenggam dan dinikmati.

Mungkin saja hal itu tercapai, tapi tidak sedikit yang kemudian hidupnya diterpa badai kepayahan dan kehinaan. Koruptor, pengedar narkoba, dan pelaku kejahatan mulai dari rakyat sampai pejabat, pasti hidup dalam ketidaktenangan bathin, betapapun ia tinggal di rumah megah dengan kendaraan mewah.

Jadi, dalam hidup jangan pernah abaikan proses dan syariat. Pastikan proses kita lalui dengan baik dan mantabkan diri bahwa proses yang dijalani sesuai dengan ketentuan syariat. Di sinilah mujahadah itu harus diupayakan.

Dan, dengan berusaha melakukan mujahadah dalam mengisi kehidupan ini, maka sungguh pintu keberhasilan itu pasti akan Allah bukakan.

Imam al-Ghazali pernah bertutur, bahwa ada seorang ulama yang membiasakan untuk bersikap bijaksana, menghilangkan kebiasaan marah dalam dirinya. Ia memaksa jiwanya untuk setiap saat bersikap sabar. Paksaan itu ia lakukan dengan keras, sampai ia benar-benar sabar dan bijak. Caranya dengan meniru setiap kebiasaan orang-orang yang sabar.

وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ فِينَا لَنَہۡدِيَنَّہُمۡ سُبُلَنَا‌ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut [29]: 69).

Ketiga, amanah

Sekali diri dipercaya orang lain, jangan sekali-kali mengkhianatinya. Sebab tidak amanah adalah keburukan luar biasa.

Rasulullah bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

Ini diperkuat lagi dalam hadits yang lain;

“أَدِّاْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikan amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu menghianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Ahmad).

Sebagai anak, kita mesti menjalankan amanah orang tua dengan sungguh-sungguh. Belajar dengan disiplin, ibadah dengan baik dan membelanjakan uang yang diserahkan sepenuhnya untuk mendukung keberhasilan belajar.

Sebagai istri, menjalankan amanah ialah dengan mentaati semua wasiat, perintah dan larangan suami yang didasarkan pada syariah Allah dan Rasul-Nya, menjaga rumah dengan penuh kesungguhan, dan mendidik anak sepenuh hati.

Demikian pula pada status diri sebagai apapun, sungguh dimensi amanah melekat kuat dalam kehidupan setiap Muslim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 27).

Jadi, teguhkan hati jalankan amanah, jangan terbesit keinginan untuk mendapatkan apapun dengan cara batil dan berkhianat. Jika ini berhasil dilakukan, insya Allah sukses alias keberuntungan akan benar-benar semakin dekat dengan kenyataan, jadi dan menekuni apapun kita dalam kehidupan dunia ini. Wallahu a’lam.*

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Inilah Tiga Kunci Kesuksesan "

Posting Komentar